Our Chaotic Society Standard

Illustration by Steve Cutts / Stevecutts

Masih suasana lebaran, ketemu sodara jauh-deket, kenalan dan sedikit banyak basa-basi. Saling salaman dan nanyain kabar, progress idup, kayak mau LPJ-an ditanya-tanya. Kadang kalo ngga nanyain fisik ya nanyain jodoh. Hayo siapa yang biasanya kena mental? Hehe. Tapi nih sebenernya, umm, pertanyaan-pertanyaan yang terlontar tajam ke arah kita tuh tergantung gimana cara kita memaknainya. Ah, bukan bermaksud ngebela yang nanya, tapi coba deh kita kulik lebih dalem lagi. Sebenernya pertanyaan-pertanyaan basa-basi semacam, "Orang lain udah gini lho, kamu kapan?", dan yang lainnya punya makna yang cukup bebas. Kita bisa lihat dari perspektif si pelempar pertanyaan, dan dari sisi siapa yang ditanya.

Ketika kita nyoba mahamin kenapa sih orang-orang suka ngelempar pertanyaan-pertanyaan aneh mainstream yang kebanyakan ngebikin suasana hati kita ngga enak. Kalo jawab jujur tuh, ada rasa-rasa kayak malu, risih, atau "Ih ni orang ngapain sih!". Pertanyaan sensitif yang nyerang fisik, "Gendutan ya, iteman ya," dan body shaming lainnya. Atau yang nyerang privasi kayak, "Kok sendirian aja, kapan lulus," sampe kena mental. Emang ngawur sih pertanyaannya, kita ngga berharap pertanyaan itu sampai di telinga kita. Cuma kalo didiemin atau disinisin kayak kurang ngenakin gitu ngga sih? Akhirnya kita cuma berperang sama diri sendiri di dalem pikiran. Sebel sama orang yang nanya, tapi juga bingung ke diri sendiri. Orang-orang lain emang udah kayak gitu, aku kapan ya....

Ada beberapa kemungkinan, orang yang nanyain hal itu ngga tau seberapa 'berperangnya kita' terhadap kondisi tersebut. Perjuangan kita buat ngadepin hal itu. Mereka berani bilang ya karena itu banyak diucapin dan dikira hal yang wajar-wajar aja untuk ditanyakan. Asal ngelempar pertanyaan tanpa mertimbangin dampaknya gimana ke orang yang ditanya. Kita bisa mulai nenangin diri kita dengan dalih, "Ah, mungkin orang itu ngga tau, emang agak ngaco sih, tapi semoga emang niatnya ngga aneh-aneh". Karena kita ngga tau sejatinya mereka nanya hal-hal sensitif itu atas dasar apa. Bukan membenarikan, tapi lebih ke kita ngga bisa ngontrol apa yang bakal orang lain utarakan. Jadi, mungkin perlahan bisa anggap aja itu jadi angin lewat.

Kemudian untuk diri kita sendiri. Kita yang paling tau seberapa berjuangnya kita. Kita yang paling ngerti, seberapa keras usaha kita. Mau kita jelasin sampe berbusa pun kalo emang orang-orang ngga paham ya ngga akan ada titik temunya. Kita dengan pengalaman kita, mereka dengan beribu pembelaannya. Kalau sanggup buat ngecounter mereka sih, rasanya sah-sah aja, karena kita yang tau kondisi kita. Cuma ya harus kuat mental aja, haha. Diam bukan berarti kalah. Mungkin kita balas pertanyaan yang ada dengan senyum kecut, tapi hati mana bisa nipu kan? Simpelnya, anggep aja orang lain ngga terlalu paham sama kondisi kita, makanya mereka berani asal ngejeplak gitu. Ya, jawab sekenanya aja, biar netijen puas dapet respon.

Ngomongin tentang netijen, kayaknya emang lingkungan kita yang aneh deh. Bukan kitanya, tapi kayak rasanya orang yang berani speak up tuh rata-rata orangnya irasional dan suka framing. Entah buzzer kek, endorse yang hiperbola, perseteruan cebong kampret, budaya spill, tanding kesengsaraan, dan masih banyak agenda-agenda aneh dari populasi manusia di negara berkembang ini. Dunia nyata aja rasanya orang aneh tuh udah banyak, ditambah jangkauan dari dunia maya yang lebih luas lagi, makin banyak orang yang ngga sejalan sama pikiran kita. Secara langsung menambah wawasan kita bahwa orang tuh banyak macemnya yah, alias banyak orang aneh yang ngga sejalan sama pikiran kita. Standar masyarakat udah mulai bergeser, irasional lebih diviralin daripada hal-hal yang informatif.

Pertanyaannya adalah, kita mau membudidayakan kultur ini atau engga? Mau menuju ke arah yang lebih logis atau udah ngikut aja sama apa yang udah ada dan terbentuk? Apakah rela lingkungan yang kayak gini nggerogoti kenyamanan dan ketenangan hidup kita? Apa ngga apa-apa semisal ada orang yang kena serang bertubi-tubi padahal dia ngga ngelakuin hal yang salah, cuma gara-gara beda sama standar masyarakat kita? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu berputar-putar di kepala. Tapi kita ragu buat mulai ngerubahnya. Entah ngga tau kata-kata apa yang cocok, atau takut diserang buzzer 'moral', atau hal-hal lain. Kita ingin mengubah sesuatu menjadi lebih baik, tentunya perlu effort yang lebih, ngga bakal gampang. Pun butuh waktu, ngga singkat. Oleh karena itu, mau menjadi bagian dari pahlawan yang sesungguhnya? Mulai dari diri sendiri yah!

Pencapai dan kesuksesan
Semuanya diukur oleh angka
Standar yang semakin lama
Semakin jauh dari realita

Terjebak dalam sebuah standar
Yang mau tak mau harus diikuti
Berusaha mencapai semuanya
Namun rasanya tidak mudah

Semuanya menuntut diri ini untuk sempurna
Jauh dari apa yang ada
Berlomba untuk mencapai
Memenuhi ekspetasi semua orang

Saat tidak mampu mencapai
Mulai banyak cemoohan
Mengarah kepada diri ini
Seakan menghakimi hidup

Memangnya semuanya harus digapai?
Perlukah memenuhi semua ekspetasi?
Tak cukupkah untuk menjadi diri sendiri?
Dengan pencapaian yang sudah diraih?

Sulitkah untuk sekadar mengapresiasi?
Tanpa perlu membandingkan
Dengan standar sosial yang ada
Membuat semuanya mampu diukur oleh angka

Padahal diri ini sudah cukup
Lebih dari segala standar yang ada
Mampu melebihi patokan masyarakat
Diri ini dengan segala keunikannya

Tak mampukah untuk dapat menilai
Mana yang baik dan mana yang tidak
Haruskah semua orang
Sibuk mengurusi hidup orang lain?

Mari belajar untuk dapat memilah
Supaya sikap dan perbuatan
Tidak menyakitkan orang lain
Agar tidak menambah luka dalam diri

Menyibukkan diri menjadi insan yang lebih baik
Tanpa harus menghakimi sesama
Dan menetapkan standar kepada orang lain
Bukankah dunia jadi kelihatan lebih indah?

Tanpa kita yang memulai
Tidak akan ada yang memulai
Dan tidak akan ada yang berubah
Sudah siapkah kita untuk menciptakan perubahan?

Comments

Most Popular Posts

Epilogue

Introduction

Listen and Understand, not Merely Respond