Our Chaotic Society Standard
Masih suasana lebaran, ketemu sodara jauh-deket, kenalan dan sedikit banyak basa-basi. Saling salaman dan nanyain kabar, progress idup, kayak mau LPJ-an ditanya-tanya. Kadang kalo ngga nanyain fisik ya nanyain jodoh. Hayo siapa yang biasanya kena mental? Hehe. Tapi nih sebenernya, umm, pertanyaan-pertanyaan yang terlontar tajam ke arah kita tuh tergantung gimana cara kita memaknainya. Ah, bukan bermaksud ngebela yang nanya, tapi coba deh kita kulik lebih dalem lagi. Sebenernya pertanyaan-pertanyaan basa-basi semacam, "Orang lain udah gini lho, kamu kapan?", dan yang lainnya punya makna yang cukup bebas. Kita bisa lihat dari perspektif si pelempar pertanyaan, dan dari sisi siapa yang ditanya.
Ketika kita nyoba mahamin kenapa sih orang-orang suka ngelempar pertanyaan-pertanyaan aneh mainstream yang kebanyakan ngebikin suasana hati kita ngga enak. Kalo jawab jujur tuh, ada rasa-rasa kayak malu, risih, atau "Ih ni orang ngapain sih!". Pertanyaan sensitif yang nyerang fisik, "Gendutan ya, iteman ya," dan body shaming lainnya. Atau yang nyerang privasi kayak, "Kok sendirian aja, kapan lulus," sampe kena mental. Emang ngawur sih pertanyaannya, kita ngga berharap pertanyaan itu sampai di telinga kita. Cuma kalo didiemin atau disinisin kayak kurang ngenakin gitu ngga sih? Akhirnya kita cuma berperang sama diri sendiri di dalem pikiran. Sebel sama orang yang nanya, tapi juga bingung ke diri sendiri. Orang-orang lain emang udah kayak gitu, aku kapan ya....
Ada beberapa kemungkinan, orang yang nanyain hal itu ngga tau seberapa 'berperangnya kita' terhadap kondisi tersebut. Perjuangan kita buat ngadepin hal itu. Mereka berani bilang ya karena itu banyak diucapin dan dikira hal yang wajar-wajar aja untuk ditanyakan. Asal ngelempar pertanyaan tanpa mertimbangin dampaknya gimana ke orang yang ditanya. Kita bisa mulai nenangin diri kita dengan dalih, "Ah, mungkin orang itu ngga tau, emang agak ngaco sih, tapi semoga emang niatnya ngga aneh-aneh". Karena kita ngga tau sejatinya mereka nanya hal-hal sensitif itu atas dasar apa. Bukan membenarikan, tapi lebih ke kita ngga bisa ngontrol apa yang bakal orang lain utarakan. Jadi, mungkin perlahan bisa anggap aja itu jadi angin lewat.
Kemudian untuk diri kita sendiri. Kita yang paling tau seberapa berjuangnya kita. Kita yang paling ngerti, seberapa keras usaha kita. Mau kita jelasin sampe berbusa pun kalo emang orang-orang ngga paham ya ngga akan ada titik temunya. Kita dengan pengalaman kita, mereka dengan beribu pembelaannya. Kalau sanggup buat ngecounter mereka sih, rasanya sah-sah aja, karena kita yang tau kondisi kita. Cuma ya harus kuat mental aja, haha. Diam bukan berarti kalah. Mungkin kita balas pertanyaan yang ada dengan senyum kecut, tapi hati mana bisa nipu kan? Simpelnya, anggep aja orang lain ngga terlalu paham sama kondisi kita, makanya mereka berani asal ngejeplak gitu. Ya, jawab sekenanya aja, biar netijen puas dapet respon.
Ngomongin tentang netijen, kayaknya emang lingkungan kita yang aneh deh. Bukan kitanya, tapi kayak rasanya orang yang berani speak up tuh rata-rata orangnya irasional dan suka framing. Entah buzzer kek, endorse yang hiperbola, perseteruan cebong kampret, budaya spill, tanding kesengsaraan, dan masih banyak agenda-agenda aneh dari populasi manusia di negara berkembang ini. Dunia nyata aja rasanya orang aneh tuh udah banyak, ditambah jangkauan dari dunia maya yang lebih luas lagi, makin banyak orang yang ngga sejalan sama pikiran kita. Secara langsung menambah wawasan kita bahwa orang tuh banyak macemnya yah, alias banyak orang aneh yang ngga sejalan sama pikiran kita. Standar masyarakat udah mulai bergeser, irasional lebih diviralin daripada hal-hal yang informatif.
Pertanyaannya adalah, kita mau membudidayakan kultur ini atau engga? Mau menuju ke arah yang lebih logis atau udah ngikut aja sama apa yang udah ada dan terbentuk? Apakah rela lingkungan yang kayak gini nggerogoti kenyamanan dan ketenangan hidup kita? Apa ngga apa-apa semisal ada orang yang kena serang bertubi-tubi padahal dia ngga ngelakuin hal yang salah, cuma gara-gara beda sama standar masyarakat kita? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu berputar-putar di kepala. Tapi kita ragu buat mulai ngerubahnya. Entah ngga tau kata-kata apa yang cocok, atau takut diserang buzzer 'moral', atau hal-hal lain. Kita ingin mengubah sesuatu menjadi lebih baik, tentunya perlu effort yang lebih, ngga bakal gampang. Pun butuh waktu, ngga singkat. Oleh karena itu, mau menjadi bagian dari pahlawan yang sesungguhnya? Mulai dari diri sendiri yah!
Pencapai dan kesuksesanSemuanya diukur oleh angkaStandar yang semakin lamaSemakin jauh dari realitaTerjebak dalam sebuah standarYang mau tak mau harus diikutiBerusaha mencapai semuanyaNamun rasanya tidak mudahSemuanya menuntut diri ini untuk sempurnaJauh dari apa yang adaBerlomba untuk mencapaiMemenuhi ekspetasi semua orangSaat tidak mampu mencapaiMulai banyak cemoohanMengarah kepada diri iniSeakan menghakimi hidupMemangnya semuanya harus digapai?Perlukah memenuhi semua ekspetasi?Tak cukupkah untuk menjadi diri sendiri?Dengan pencapaian yang sudah diraih?Sulitkah untuk sekadar mengapresiasi?Tanpa perlu membandingkanDengan standar sosial yang adaMembuat semuanya mampu diukur oleh angkaPadahal diri ini sudah cukupLebih dari segala standar yang adaMampu melebihi patokan masyarakatDiri ini dengan segala keunikannyaTak mampukah untuk dapat menilaiMana yang baik dan mana yang tidakHaruskah semua orangSibuk mengurusi hidup orang lain?Mari belajar untuk dapat memilahSupaya sikap dan perbuatanTidak menyakitkan orang lainAgar tidak menambah luka dalam diriMenyibukkan diri menjadi insan yang lebih baikTanpa harus menghakimi sesamaDan menetapkan standar kepada orang lainBukankah dunia jadi kelihatan lebih indah?Tanpa kita yang memulaiTidak akan ada yang memulaiDan tidak akan ada yang berubahSudah siapkah kita untuk menciptakan perubahan?
Comments
Post a Comment