Clarity of Mind


Designed by Charlie Whittle / Pinterest


Yang namanya hidup, kalo ga kena masalah ya pasti disangkut-pautin sama masalah orang lain. Bisa karena kita yang suka cari gara-gara atau orang lain yang hobinya cari gara-gara sama kita. Denial akan sebuah masalah yang sedang kita dapatkan, seringkali ga berakhir dengan indah. Kita gabisa bodoamat sama setiap masalah yang kita miliki. Memilih untuk bersenang-senang dan meninggalkan sesuatu yang mengejar kita perlahan. Entah kapan, tapi yang jelas hal itu ngga baik buat diri kita sendiri dan terhadap masalah itu sendiri yang mungkin aja bisa membesar waktu demi waktu. Pun ketika kita terlalu banyak menaruh pikiran kita untuk masalah yang kita miliki, itu juga kurang bijak. Tau kenapa?

Yang namanya hidup ya jelas ada yang namanya skala prioritas. Sampe udah berbusa banyak orang yang ngomong tentang pentingnya skala prioritas. Yang bisa bermakna 2 hal. Pertama, skala prioritas adalah mengutamakan hal-hal yang benar-benar penting dan urgensinya tinggi untuk kita selesaikan dalam waktu dekat. Kedua, skala prioritas adalah ketika kita mengutamakan hal -hal yang ingin kita lakukan dan menomorsekiankan hal-hal yang tidak terlalu kita inginkan. Ya, sekias mungkin terlihat sama. tapi ada perbedaan mendasar tentang pemiihan hal yang disebut sebagai 'prioritas' itu sendiri. Entah prioritas karena itu dianggap penting oleh orang laiin, atau bukan prioritas karena tidak mau kita anggap sebagai hal yang penting.

Pernah ada sebuah tulisan yang tampak lebih meyakinkan dibanding sekadar mengurutkan berdasar prioritas. Yaitu mengelola kegiatan seabrek dengan membiasakannya. Maksudnya apa, ketika kita terbiasa melakukan hal-hal yang kompleks, berada dalam urutan-urutan tertentu dan tidak bersamaan. Maka dengan terlatihnya kita akan hal ini, kita bisa melakukan hal apapun yang menurut kita penting dan perlu dikerjakan. Teori ini cukup unik, dibandingkan dengan konsep prioritas yang kita pahami sebelumnya, teori ini lebih mengacu kepada terbiasanya kita untuk melakukan banyak hal yang penting hingga sangat penting. Beda dari prioritas yang bersifat ke-hirearki-an permasalahan, tapi lebih ke konsep habit atau pembiasaan penyelesaian masalah yang cukup banyak dan kompleks.

Tapi nih tapi, terlepas dari kedua konsep yang disebutkan di atas, ada beberapa poin yang sama. Keduanya sama-sama merupakan dasar konsep untuk menyelesaikan banyak masalah yang kita miilki dalah jangka waktu tertentu. Nah, dari masalah yang kita miliki ini, kembali lagi, threshold orang untuk mengemban suatu masalah itu berbeda-beda. Tapi intinya, adanya masalah itu akan membuat diri kita ingin menyelesaikan masalah yang kita miliki secara tepat dan efisien. Kita tidak ingin menghabiskan banyak energi dan waktu untuk menyelesaikan suatu masalah. Akan tetapi, bukannya makin banyak masalah dan makin tinggi kompleksitas masalah tersebut, bisa membuat kita untuk makin berpikir terus ya....

Ketika kita punya suatu masalah, otak terpicu untuk mencari solusi, hati serasa tertekan ingin segera terlepas dari konfik ini. Memang, ga terlalu nyaman ketika kita punya banyak hal untuk dikerjakan dan diselesaikan, apalagi dalam batas waktu yang ditentukan. Beuh... Rasanya mau meninggal. Udah kondisi otak dan pengalaman menyelesaikan konflik cuma seuprit doang, ini dikasi masalah yang belibet, perlu segera diselesaikan, jumlahnya ga main-main, dan tanggung jawab kita masih aja nambah dari waktu ke waktu. Udah serasa dipress dari segala sisi. Diharapkan oleh banyak orang, sedang di waktu yang bersamaan kita ingin mengembangkan diri sendiri, belom kalo kita orangnya perfeksionis.

Tentunya hal itu bener-bener berat. Serasa kita adalah orang yang bebannya paling berat, diberatkan oleh ekspektasi orang lain, digelantungi mimpi-mimpi kita sendiri, tapi harus menghadapi tembok realita yang sangat menyulitkan kita untuk berprogres. Pikiran terpaksa berjalan secara paralel, mencari solusi untuk beberapa hal sekaligus,berniat menjadi seorang multitasker. Karena di saat itu juga kita tidak ingin membuat orang lain kecewa, tidak ingin mimpi kita tertunda lagi. Akhirnya yang terjadi kita memforsir diri kita untuk bekerja di ambang batas ketahanan kita. Bisa menarik nafas saja rasanya sudah sangat menyegarkan. Tetapi allih-alih membuat diri kita bernafas, kita lebih mengutamakan pekerjaan kita untuk cepat terselesaikan.

Titik ini, titik di mana kita menjadi sangat lelah. Entah lelah karena tidak bisa memuaskan diri sendiri, tidak bisa merespon permintaan orang lain yang begitu randomnya. Titik di mana kita telah kehilangan kenyamanan kita untuk hidup. Kehilangan ketenangan berpikir, lupa akan manisnya kehidupan dan bersenang senang. Yang ada dalam pikiran kita hanyalah solusi, solusi, dan solusi. Hingga kita mengorbankan waktu dan istirahat kita, berusaha keras mendapatkan solusi terbaik untuk memuaskan orang lain dan diri sendiri. Memang benar adanya, titik ini adalah titik di mana bekerja keras saja tidak bisa menghasilkan solusi terbaik, gimana kalo kita santai coba? Secara rasional hal itu ga mungkin banget.

Kembali ke teori priority dan habit. Memang pada dasarnya teori habit terlihat lebih uwu ya. Tapi kali ini kondisi tubuh dan mental kita berbeda, tidak sekuat dan sejernih biasanya. Maka dari itu, habit sudah menjadi terlalu berat untuk kita jalankan lagi di titik ini. Alangkah lebih bijaknya jika kita memakai teori priority pada kondisi seperti ini. Tapi prioritas kita apa? Hal yang perlu diprioritaskan di sini adalah dirimu sendiri. Bukan tentang mana masalah yang urgensinya paling penting untuk dirimu sendiri. Tapi ini tentang tubuhmu. Seberapa lama kamu telah memaksakan tubuhmu bekerja dan berpikir di ambang batas? Tubuhmu butuh istirahat, lelahnya tubuhmu lebih penting daripada lelahnya orang lain yang memohon-mohon padamu.

Mungkin akan terasa sedikit tidak nyaman untuk menolak orang tersebut. Tapi bukankah seharusnya kamu lebih menitikberatkan pada kekuatan tubuhmu sendiri? Kapan kamu akan menyayangi dirimu sendiri jika tiap waktu kamu paksakan dia untuk bekerja dan berkreasi terus menerus. Mana jatah rehat dan hiburan yang berhak dia dapatkan? Bukan apa-apa, tapi pikiranmu juga butuh diistirahatkan. Ini tentang kenyamananmu untuk hidup. Kenyamanan dirimu sendiri. Bukan karena semua pekerjaan itu tidak penting, bukan! Tapi ketenangan dirimu sendiri ketika melakukan segala pekerjaanmu itu yang merupakan prioritas utama, tidak tergantikan oleh kesibukan apapun.



Hidup dengan penuh ambisi
Menjalani hidup untuk menggapai setiap mimpi
Berlomba untuk menjadi yang terbaik
Berjalan sebisaku, berlari semampuku

Satu persatu, mimpi itu kuraih
Jalan ku tapaki untuk merangkak ke tujuan
Berharap semua dapat ku genggam
Sambil berkata pada jiwa untuk tidak mengecewakan

Hari hari berlalu, manusia makin berharap pada diri ini
Untuk menjadi yang terbaik
Untuk menjadi terdepan
Untuk menjadi yang selalu bisa diandalkan

Perlahan, mimpi itu bukan hanya sekadar mimpi
Melainkan berubah menjadi ambisi
Bertekad untuk dapat meraih semua, tanpa terkecuali
Membuatku lupa diri

Aku, menjadi manusia yang takut untuk mengecewakan orang lain
Aku, menjadi raga yang takut kehilangan kepercayaan yang sudah diberikan
Aku, menjadi jiwa yang tak bisa menerima kegagalan
Dan aku, menjadi diri yang merasa tidak pernah cukup untuk orang lain

Kadang, aku lelah
Aku lelah ketika orang lain mempunyai harapan setinggi langit kepadaku
Aku takut ketika orang lain berharap aku mampu berhasil dalam segala hal
Aku kecewa ketika diri ini tidak mampu menggapai segala ekspetasi

Sebenarnya apa yang aku cari?
Apa yang membuat aku berlari sejauh ini?
Hal apa yang membuat aku menjadi manusia yang tak pernah merasa cukup?
Apakah ini karena diri sendiri atau karena ekspetasi tinggi?

Tidak
Kamu hanya lupa
Kamu tidak menomorsatukan dirimu
Ketenangan dan ketenteraman jiwamu

Comments

Most Popular Posts

Epilogue

Introduction

Listen and Understand, not Merely Respond