Home But It's Not Homey

Picture by nemupan / Instagram

Pernah ga sih kita ngerasa kalau rumah udah bukan lagi tempat untuk pulang? Melainkan hanya tempat singgah, numpang tidur aja gitu di rumah. Karena emang rumah udah ga bisa dijadikan tempat pelabuhan terakhir, tempat untuk bersandar dari segala bisingnya dunia. Tapi justru malah jadi sumber kekacauan dalam hidup. Emang ada ya yang begitu? Oh ada dong, jelas. Banyak malah. Hm... Kenapa ya hal ini bisa terjadi? Bukannya rumah seharusnya jadi tempat ternyaman dan teraman untuk pulang? Tapi kenapa justru rumah malah jadi tempat yang paling dihindari untuk pulang?

Mungkin rumah memang benar adanya sebagai tempat kita merasa bahagia dan paling bisa jadi diri sendiri. Tapi kalo rumah ternyata malah membuat beban dalam hidup kita semakin bertambah banyak dan runyam, rasanya rumah bukan menjadi tempat ternyaman untuk kembali pulang. Hubungan yang kurang cair antar anggota keluarga, entah anggota yang satu merasa lebih superior, atau bisa juga anggota yang lain ingin selalu dihormati dan disegani, atau bisa juga ada yang ingin selalu dimengerti. Hal itu yang membuat kita terkadang merasa sulit untuk menjadikan rumah sebagai tempat untuk pulang.

Sejujurnya, banyak manusia yang merindukan ramahnya rumah, kehangatan atmosfernya yang cocok dijadikan tempat beristirahat dari segala kekacauan dan tidak menentunya dunia. Namun sayang, harapan itu tidak bisa terwujud karena tempat itu justru malah menambah beban pikiran dalam hidup. Bukan karena tempatnya, namun karena manusia yang tinggal dan menetap di rumah itu yang membuat diri kita gelisah dan tidak bisa menjadi diri sendiri.  Rasanya mau cepet-cepet kabur aja gitu dari rumah. Kalo bisa main terus mah, main terus aja dah. Namun apa daya, selama masih belum bisa berdikari dan masih bergantung pada orangtua, ya mau gimana lagi, sabar dan bertahan adalah jalan ninjaku.

Tanpa sadar, kita jadi lebih sering berada di luar rumah, menghabiskan waktu dengan teman, pacar maupun sahabat. Kelihatannya tuh kalo di luar rumah, ya ga ada masalah gitu. Bahagia gitu, intinya happy banget. Lain halnya kalo udah pulang ke rumah, huft.... Bawaannya berat banget buat melangkah masuk ke rumah, mau buka pintu aja rasanya males banget. Kalo udah sampe rumah, rasanya mau ngurung diri aja dan gamau berinteraksi sama orang-orang di dalamnya, pokoknya harus mengurangi interaksi ke orang-orang. Impian kecil kita, 'rumah' sebagai tempat ternyaman, mungkin akan sangat sulit untuk digenggam.

Padahal, sebagai anak kita ga minta sesuatu yang impossible kok. Kita cuma pengen melihat rumah sebagai satu-satunya tempat dimana kita dapat merasakan kasih sayang yang sesungguhnya, tempat dimana kita bisa berlindung dari kondisi dunia yang makin lama makin harmful. Bukannya malah menambah beban hidup dengan kemelut rumah tangga. Terkadang rasa iri datang, ketika melihat orang lain bisa pulang ke rumah dengan perasaan gembira, melepas bebannya dengan berkumpul dan berinteraksi dengan manusia lainnya yang tinggal di rumah tersebut. Dan akhirnya bertanya kepada diri sendiri, "Kapan ya aku bisa kayak gitu?  Apa mungkin aku bisa...."

Mungkin sudah banyak tetes air mata yang kita habiskan untuk menangisi 'rumah'. Kerinduan untuk menjadikan rumah dan manusia-manusia di dalamnya sebagai pelabuhan terakhir kita. Tempat untuk saling berbagi cerita tentang hari-hari yang kita lewati. Tempat untuk berbagi tawa dan canda bersama, dan hal-hal lain yang layaknya dilakukan oleh keluarga lainnya. Bukan malah saling adu suara, adu otot, caci-maki, kata-kata kasar, perbuatan maupun perkataan yang menyakiti hati. Bahkan sikap acuh tak acuh ke sesama anggota keluarga. 'Rumah' justru menambah sayatan dan memperdalam luka yang ada, menjadi jauh lebih sakit dan mungkin akan sulit untuk dilupakan. Hari ke hari, luka itu masih terus ada dan bahkan bertambah kala melihat kondisi rumah beserta anggotanya yang jauh sekali dari definisi kebahagiaan. Namun, apakah salah jika masih mengharapkan rumah sebagai tempat untuk pulang?

Harapan kecil kita pun bertumbuh, namun seringkali layu seiring berjalannya waktu. Anggapan bahwa mempunyai rumah yang aman hanyalah sebuah cerita yang cuma bisa terjadi di cerita dongeng sebelum tidur makin terkuatkan. Padahal yang kita butuhkan bukanlah rumah mewah dengan segala fasilitas yang mumpuni, namun hanya sesama anggota yang mau saling mengerti dan memahami. Keluarga yang menjadi sayap pelindung dari liciknya manusia lain di dunia, tempat untuk me-recharge tenaga kita setelah seharian berkutat dengan kegiatan di luar rumah. Tapi tetap, hati kecil kita masih menginkan sebuah rumah yang utuh, dengan anggota keluarga yang memiliki hati juga. Jangan menyerah, terus berusaha untuk mendapatkan definisi 'rumah' yang sebenarnya. Percayalah suatu saat impian itu akan terwujud dan membuatmu menjadikan rumah sebagai persinggahan terakhir dan tempat terbaik untuk pulang. My hugs for you  <3


Tempat awal kita dibesarkan
Disuapi dan dimandikan kehangatan
Tempat ternyaman katanya
Gubuk teraman dari segala mara bahaya dunia

Yang kita harapkan menjadi pegangan kita
Yang kita inginkan jadi pendukung utama
Bahagia dan ceria tercurahkan
Tempat untuk menumpahkan kelelahan hidup

Namun, ternyata tidak sepenuhnya tepat
Apakah mimpi di atas memang realistis?
Bagiku hanyalah angan utopis
Tiada kehangatan yang dibalutkan

Kapan aku mendapatkan hal ini ya
Yang bagi kebanyakan orang sudah lumrah
Dianggap biasa saja
Tapi inilah yang aku impikan

Kalian tahu....
Sulit untuk menjadi diri sendiri
Walau sudah berada di tempat itu
Kamu mengerti rasanya?

Bukankah akan berbahaya
Apabila tempat yang aman jadi tidak aman
Apabila tempat yang tidak aman seakan akan aman
Tapi apa daya

Namun tidak salah kan untuk berharap?
Rumah sebagaimana rumah
Hati sebagaimana hati
Kehangatan sebagaimana kehangatan

Apakah masih bisa terkabul
Setidaknya bisa menjadi tempat istirahat
Tempat yang menjadi penenang jiwa
Beristirahat dari problematika hidup

Pelarian pertama dan terakhir

Comments

Post a Comment

Most Popular Posts

Epilogue

Introduction

Listen and Understand, not Merely Respond